Monday, December 25, 2017

It (2017), Film Horror ABG yang Kaya Akan Pesan Moral

135 Min l Drama, Horror,Thriller l 8 September 2017

Director : Andy Muschietti
Writers  : Stephen King (Novel), Chase Palmer, Cary Fukunaga,…
Stars     : Bill Skarsgard, Jaeden Lieberher, Finn Wolfhard,…



          Film yang berhasil bikim heboh di 2017, karena film ini juga gue rela untuk mencari-cari film terdahulunya dan ternyata film It (1990) punya apresiasi yang cukup baik dan bagus untuk horror 90an.

Bercerita tentang monster berwujud badut yang mengincar anak-anak kota Derry. Sekelompok anak yang terlihat layaknya kumpulan pecundang bekerjasama untuk melawan monster tersebut. Sebagai bentuk perlawanan akan rasa takut yang diberikan sang Dancing Clown, the Losers’ club bersama-sama melawan badut untuk kembali kedalam tidur panjangnya.


Bill Denbrough (Jaeden Lieberher) berusaha mencari kebenaran akan kehilangan adiknya yang tak wajar. Bersama enam orang temanya, Bill harus bertemu dan melawan rasa takut yang diberikan oleh Pennywise (Bill Skarsgard) yang selalu memberi rasa takut kepada anak-anak dikota tersebut.

Karakter Beverly Marsh (Sophia Lilis) dan Pennywise berhasil menjadi spotlight dalam film ini. Beverly yang diasuh oleh ayah yang galak, tanpa kehadiran sosok ibu menjadi seorang yang teertekan sehingga harus mencari pelarian kepada rokok dan hal lainya untuk membuat hidupnya nyaman. Sangat berbeda dengan versi mini serinya ( It 1990), Beverly disini lebih terlihat tangguh dan terlihat sekali sebagai anak broken home. Pennywise versi 2017 juga menjadi salah satu pembeda dari film sebelumnya. Sang Badut sudah tidak Nampak sebagai badut, perbedaan yang mencolok adalah Pennywise disini lebih terlihat layaknya monster dan sangat menakutkan, berbeda dengan versi 1990 yang masih terlihat seperti badut dan tidak menakutkan apabila hanya dilihat.



Audio kejut nampaknya tidak menjadi senjata utama dalam film ini, artinya tidak banyak scIare jump yang muncul dalam film ini. Hampir semua situasi seram dibangun bedasarkan setup yang telah terencana dan rapih tersusun untuk memberikan pengalaman seram dalam film. Dengan setup tersebut gue sangat yakin tidak akan banyak orang kaget melihat sosok monster muncul tapi lebih ke takut yang bertahap, diawali dengan suasana seram lembut untuk membangunkan bulu kuduk penonton. Video yang agak “terang” dibandingkan film horror lainya menjadi pembeda dalam film ini. Mestipun hampir semua adegan terlihat terang nampaknya hal tersebut tidak mengurangi nuansa horror yang muncul semua berkat setup yang lembut berhasil dibangun dalam film ini.


It (2017) bisa dikatakan adalah film remake yang cukup berhasil, banyak sekali perbedaan muncul dari film ini dibanding versi 1990. Horor yang disajikan dengan lembut dan setup yang menarik memberikan pengalaman berbeda ketika sebuah film horror sedikit memberikan audio mengejutkan sebagai pendamping scare jump yang muncul. Pennywise (2017) yang diset sebagai monster menjadi pembeda lainya dari versi sebelumnya yang diperankan oleh Tim Curry. Nilai plus lainya diberikan penulis kepada film ini adalah nilai moral yang terkndungnya membuat gue pingin banget buat merekomendasikan kepada adik atau sepupu bahkan anak tetangga dengan rentan usia 10 sampai 17 tahun untuk tonton film ini. Untuk Calon sineasss, menurut gue film ini memberikan contoh bagaimana setup yang baik akan memberikan nuansa horror yang lembut tapi tetap menakutkan.

Saturday, December 23, 2017

Review Chrisye (2017), Film Biopic Tanpa Kesan

110 Min l Biografi l 7 Desember 2017

Director : Rizal Mantovani
Writers  : Alim Sudio
Stars     : Vino G Bastian, Velove Vexia, Ray Sahetapy,….
         
    Satu-satunya faktor pendorong untuk gue menonton film ini hanyalah nama besar Chrisye.



   Bercerita tentang alah satu maestro musik Indonesia, Film Chrisye hadir sebagi pelepas rasa rindu penonton kepada almarhum. Film yang diangkat dari sudut pandang sang istri ini menceritakan sedikit kisah Chrisye sebelum bertemu, dan lebih banyak mengenai sang maestro setelah berkeluarga. Berawal dari kesempatan manggung di Amerika hingga akhirnyabekarya di tanah air sampai membuat hits yang akhirnya bisa kita dengar hingga saat ini.


   Dalam film dijelaskan keresahanya sebagai kepala keluarga dan menjadi seorang musisi. Berawal dari seorang musisi yang tidak percaya diri bernyanyi sendiri dan berjoget hingga akhirnya memantapkan diri sebagai solois ternama. Begitu banyak sosok kerendahan dan hal yang tak terduga diangkat dalam film ini, ketakutan seorang Chrisye akan masa depan keluarganya sampai cuplikan sejarah bagaimana dia merekam beberapa lagu dan persiapan konser akan dapat kita saksikan disini.

   Karakter Chrisye (Vino Bastian) dan ibu Damayanti (Velove Vexia) tidak memberikan kesan tersendiri dalam film ini, ntah karena kurang mirip atau memang tidak ada “chemistry” sama sekali dengan tokoh aslinya. Melihat Velove Vexia disini sepertinya cukup untuk dikatakan agak mirip, walupun tidak begitu mengesankan. Tetapi untuk Vino, saya tidak melihat sama sekali sosok Chirsye dalam film tersebut, hanya momentum cerita yang bisa mengingatkan  bahwa orang itu adalah Chrisye. Walaupun dinilai kurang “serupa” bagi dua karakter utama penulis merasa terpuaskan oleh peran Jay Subiakto (Roby Tremonti) yang sering sekali mencuri perhatian penulis dan gue yakin penonton lainpun seperti itu. Selain karakter Jay Subiakto dan Guruh Soekarnoputra (Dwi Sasono) yang mencuri perhatian, karakter Addie MS (Irsyadillah) nampaknya dapat menarik perhatian para kaum hawa, bukan karena karakter yang pas melainkan berkat tampang yang rupawan dan penulis sangat meragukan kemiripanya dengan orang aslinya (Addie Ms), sempat bertanya dalam hati kenapa gak anaknya aja yah yang main antara Kevin atau Tristan biar mirip aja sih….


   
   Visual dan Audio yang ada sepertinya semakin membuktikan betapa kurangnya kualitas yang ada. Banyak adegan dengan gambar agak memaksa ataupun kurang representatif dengan setting seharusnya. Mestipun ada beberapa yang bisa saya anggap sangat tepat gambaran setingnya tapi itu hanya beberapa saja, karena sebagian besarnya tidak bisa disebut bagus. Suara Chrisye asli menigisi part-part pada saat sang maestro bernyanyi menjadi suatu hal yang sangat menganjal, ada perbedaan yang sangat kentara yang membuat beberapa penonton kecewa. Bayangkan saja suara Vino yang agak cempreng dan lebih dekat dengan Kasino diganti suara khas Chrisye dalam bernyanyi, bagi penulis itu sangat mengganggu.

  Sulit nampaknya untuk kita puas dengan film ini apabila berharap menonton biopic dan mendaptkan hal yang menarik dari Chrisye. Beberapa part akan membuat kita bertanya “kenapa harus begitu?”, “kenapa tidak begini?” karena kekurangan yang ada dan membuat penonton kecewa. Tapi bagi Calon Sineasss kita bisa mempelajari sesuatu dari film ini, dimulai dari pentingnya pemilihan karakter yang tepat dan pengaruhnya bagi film, membangun cerita yang fokus (tidak ada fokus cerita yang menonjol), serta bagaimana membangun film bertema realigi.


Thursday, December 21, 2017

Review Jumanji : Welcome to the Jungle (2017), Sangat Menghibur Walau Tidak Sebagus Pendahulunya

119 Min l Action, Adventure, Comedy l 20 Desember 2017

Director : Jake Kasdan
Writers  : Chris McKenna, Erik Sommers,……
Stars     : Dwayne Johnson, Kevin Hart, Jack Black, Karen Gillan


   Sama-sama realese bulan Desember dengan film pertamanya, “Jumaji : Welcome to the Jungle” diyakini dapat memberikan hiburan tersendiri untuk keluarga. Memiliki cerita berbeda dengan film sebelumnya serta di perankan oleh deretan actor ternama yang muncul dan memiliki predikat baik untuk film komedi (Jack Black dan Kevin Hart) dipercaya mampu memberikan tawa saat kita menonton. Banyak yang ekspetasi dengan peluncuran film ini, bahwa Jumanji versi 2017 akan menyusul kesuksesan dari pendulunya.



   Bercerita tentang empat orang anak SMA yang terjebak dalam sebuah video game petualangan dihutan. Dengan kemampuan sesuai dengan karakter yang dipilih saat bermain, keempatnya harus bekerja sama menyelesaikan petualangan tersebut dengan “quest” khas video game untuk bisa kembali ke dunia nyata. Setiap karakter dalam video game tersebut memiliki kekuatan dan kelemahanya tersendiri dan hanya dibekali oleh tiga nyawa selama petualangan tersebut.

     Dr. Bravestone (Dwayne Johnson), Ruby Roundhouse (Karen Gillan), Moose Finbar (Kevin Hart), dan Prof. Oberon (Jack Black) bersatu menjadi tim untuk dapat menyelamatkan jumanji. Petualangan mereka dimulai ketika mereka bertemu dengan Nigel (Rhys Darby) sebagai pengantar mereka menuju petualangan yang sesungguhnya. Dengan berbagai tantangan serta lawan, hanya nyawa mereka yang menjadi pembatas apakah misi mereka akan terselesaikan atau harus terjebak dalam dunia Jumanji selamanya.

  Karakter yang hadir dalam cerita merupakan komposisi yang cukup tepat dalam sebuah permainan. Satu orang terkuat, satu orang dengan kemampuan bela diri paling baik, satu orang pemilik kepintaran untuk memecahkan teka-teki yang ada, dan satu orang terakhir sebagai “support” dengan sebuah tas ransel untuk menyimpan berbagai barang berhasil menjadi perpaduan yang unik, ditambah karakter tambahan yaitu penerbang  membuat jalanya cerita menjadi seru. Karakter yang dimainkan oleh Kevin Hart menjadi aktor utama di hampir setiap komedi yang muncul. Tetapi satu kekurangan dianggap penulis “mengganjal” adalah peran dari Bethany yang dirasa kurang “hot” untuk dunia nyata. Begitu juga dalam video game peran gadis populer tersebut dirasa kurang “gemulai”, sehingga penulis merasa kehilangan sosok “Bethany dunia nyata” dalam video game.


   Pencapaian yang mungkin “bisa” didapat dari Jumanji 2017 ini adalah “Film komedi yang cukup menghibur”. Penulis menganggap film terdahulunya lebih baik dalam segi cerita dan memberikan experience dunia permainan yang semestinya. Rating lebih dari 7 IMDBpun sepertinya akan sulit diraih untuk film yang secara komedi berhasil membuat kita ketawa. Tetapi perasaan yang jelas dirasa penulis adalah kebosanan di babak-babak akhir dan kurang memberikan pengalaman petualangan dunia video game. Untuk Calon Sineasss satu hal yang dapat kita pelajari dalam film ini adalah dialog antara Moose Finbar (Kevin Hart) dengan karakter lainya, karena sangat renyah untuk membuat kita tertawa.


Thursday, December 14, 2017

Review Film Coco (2017), Film Keluarga yang Wajib Ditonton

105 Min l Animation, Adventure, Comedy l 22 November 2017 

Director : Lee Unkrich
Writers  : Lee Unkrich, Adrian Molina,……
Stars     : Anthony Gonzalez, Gael Garcia Bernal, Benjamin Bratt,…

"We may have our differences, but nothing’s more important than family"


   
   Film animasi sebenarnya bukan menjadi favorit dari penulis. Setelah Inside Out nampaknya penulis masih belum bisa menemukan karya animasi yang memberikan hiburan serta pembelajaran tersendiri saat menontonya. Berbekal respon positif dari keluarga beda ayah dan ibu yang telah menonton, gue bulatkan tekat untuk menonton film tersebut


   Bercerita tentang Miguel, seorang anak dengan cita-cita sebagai musisi. Sebuah impian yang akan sulit dicapai olehnya karena Miguel berada dalam keluarga yang sangat membenci musik. Kebencian tersebut muncul dikarenakan kisah  panjang dialami oleh buyut dari Miguel, dimana Mama Coco (ibunda dari nenek Miguel) ditinggal oleh ayahnya yang mengejar mimpi sebagai musisi terkenal. Tapi hal tersebut bukan menjadi penghalang bagi Miguel untuk tetap berlatih dan mendengarkan musik di loteng rumahnya.


   
   Petualangan dimulai saat Miguel terjebak di Land of the Dead. Bertemu dengan pendahulunya dia harus meminta restu mereka untuk dapat kembali kedunia orang-orang hidup. Langkah Miguel semakin rumit tatkala Mama Imelda (ibu dari Mama Coco) memberi restu dengan satu syarat, agar anak tersebut berhenti bermain musik.

   Visual yang begitu realistis ditunjukan dari awal hingga akhir, memberikan kejutan tersendiri bagi penulis. Detail menjadi senjata utama dalam visualisasi film mulai dari kerut wajah yang penuh makna, bentuk karakter dan gerakan tangan Miguel saat bermain gitar sangatlah tepat. Perpaduan warna yang sangat indah dihadirkan film garapan Disney/Pixar tersebut baik di dunia orang hidup atau land of the dead.


   
   Audio dalam film animasi selalu berhasil memberikan kesan sendiri bagi para penonton. keberhasilan lagu dalam film animasi pastinya  akan berpengaruh pada suasana yang dibangun. Un Poco Loco untuk lagu senang dan Remember Me untuk part kesedihan, berhasil berpadu dalam film untuk mencampur aduk emosi penontonya. Iringan musik Meksiko yang begitu indah dan pernuh keunikan juga menjadi salah satu penghidup dan pelekat dengan setting kota Meksiko dalam film tersebut.

     Pencapaian cemerlang dengan nilai rating Imdb yang sangat tinggi yaitu 8,8 (saat review ditulis) membuktikan film ini berhasil menghibur serta memberi kesan baik pada penonton. Bentuk imajinasi atau cerita orang tua meksiko yang terkesan begitu mengada-ada apabila didengarkan, berhasil dibentuk menjadi sebuah gambaran nyata dan dapat diterima nalar oleh anak-anak serta orang dewasa. Sebagai seorang yang sudah masuk ketahap dewasa penulis sangat senang bisa menangkap cerita dan pesan moral dalam film tersebut, andaikan gue punya adik kecil pasti akan menganjurkan untuk menonton film ini.

    Beberapa part cerita yang bisa ditebak, tidak berpengaruh banyak pada pengalaman menonton film ini. Masih ada beberapa kejutan cerita yang sepertinya tidak akan terbanyangkan oleh siapapun. Begitu berhasilnya imajinasi Disney/Pixar terwujud hingga membuat kagum penulis scara pribadi. Latar Meksiko dengan tradisi keluarganya merupakan nilai plus yang menjadi pembeda film ini. Sungguh film yang sangat menyentuh, cerita  unik dihadirkan dengan beat yang rapi, berhasil mengendalikan emosi penonton. Sebagai Calon Sineasss sepertinya bisa menjadikan film ini untuk panduan menulis script.



Wednesday, December 13, 2017

Review Film Murder on the Orient Epress, Film Detektif dengan Gambar yang Indah

114 Min l Crime, Drama l 30 November 2017

Director : Kenneth Branagh
Writers  : Agatha Christie (Novel), Michael Green (Screenplay)
Stars     : Kenneth Branagh, Penelope Cruz, Willem Dafoe,…


   Yash… sedikit cerita tentang film ini, sebenarnya gue gak terlalu pingin nonton ini waktu itu. Awalnya tuh karena kebetulan lagi diMall males balik terus coba kebioskop, lihat poster ini dan kepikiran kata beberapa temen kalau film ini bakal menarik. Kenapa pakai “bakal” iya karena mereka-mereka juga belum pada nonton sih, dan hanya karena alasan tersebut jadinya gue coba nonton.


   Bercerita tentang perjalan Hercule Poirot (Kenneth Branagh) ke London dengan menaiki Orient Express. Perjalanan tersebut menjadi sebuah kisah dengan awal konflik kereta yang dinaikinya terjebak tidak bisa melaju akibat longsor salju dan ditemukanya seorang penumpang yang tewas terbunuh yakni Ratchett (Johnny Depp). Bouc (Tom Bateman) selaku penanggung jawab Orient Express meminta Poirot untuk menyelesaikan kasus tersebut dan segera menemukan pelaku pembunuhan.

  Poirot lantas memulai investigasi dan segera melakukan introgasi kepada penumpang lainya. Dengan reputasi yang sangat baik sebagai Detektif, nyatanya Poirot tidak mudah menemukan siapa pembunuhnya. Introgasi yang dilakukan malah membuka tabir kelam dari korban, ditemukan keterikatan-keterikatan yang tidak hanya membuat Poirot sulit mengambil keputusan tetapi turut membawa penonton untuk berfikir bersama mengungkap kasus tersebut. Bagaimanapun Poirot harus segera menemukan siapa pembunuhnya sebelum terjadi pembunuhan lainya terjadi, satu hal yang dia yakini pembunuh masih berada dalam kereta bersama dirinya dan penumpang lainya.


   Karakter Hercule Poirot sungguh memberikan hiburan tersendiri dengan tingkah lakunya, bukan hanya menjadi fokus karakter sebagai pembawa alur cerita, tapi beberapa gimmick yang diberikan terkadang membuat penulis tertawa kecil. Kenneth Branagh sungguh berhasil memerankan Poirot yang sangat mencintai keseimbangan pada hal apapun. Ansambel kelas wahid karkater-karakter lainya yang dimainkan artis top Hollywood seperti Michelle Pfeiffer, Judi Dench, Willem Dafoe, Penelope Cruz, Johnny Depp dan Derek Jacobi yang beradu peran dengan generasi yang lebih muda tetapi memiliki acting menawan seperti Tom Bateman dan Daisy Ridley dalam film ini semakin menambah daya tarik dalam mendukung cerita akan keseimbangan diantara para penumpang.

   Visual dalam film tersebut memberikan nilai plus tersendiri yang penulis dapat nikmati. Gambar yang indah terpapar untuk mewakili adegan-adegan yang santai atau beat standar. Sementara untuk beberapa adegan dengan tingkat dramatik yang tinggi ditunjukan dengan pengambilan gambar yang unik. Salah satu contohnya adalah ketika korban ditemukan tewas, dengan menggunakan overhead shot dan tidak menunjukan korban, penulis merasakan suasana yang berbeda tetapi tetap dengan ketegangan yang tinggi.


  Audio yang dihadirkan sudah tidak diragukan lagi, flow antara ketenangan dan ketegangan yang dibangun lewat alunan musik atau scoring yang terdapat dalam film tersebut, semakin membangun suasana yang menarik. Selingan komedi yang hendak disampaikan lewat film tersebut dpat dicerna baik dengan dukungan beberapa jeda musik atau suara lainya sehingga keheningan untuk memunculkan komedinya berhasil.


  Pencapaian pendapatan yang hingga  saat ini sudah menyentuh angka 211juta dollar Amerika, membuat film ini cukup berhasil dengan modal yang tidak begitu besar untuk film sekelas Hollywood yakni 55 juta dollar. Nampaknya gambar cantik, pengalaman suasana ditahun 1930 yang begitu terasa, cerita keren dan para pemeran didalamnya sudah cukup untuk menyembut Murder on the Orient Express sebagai film yang wajib ditonton oleh para Calon Sineasss karena memiliki kejutan tersendiri dalam ceritanya.

Tuesday, December 12, 2017

Review Film "Night Bus", Film Terbaik FFI 2017 yang Minim Penonton

135 Min l Thriller, Drama l 6 April 2017, 30 November 2017 (Tayang kembali)


Director : Emil Heradi
Writers  : Teuku Rifnu Wikana, Rahabi Mandra
Stars     : Teuku Rifnu Wikana, Yayu Unru, Torro Margens,…

Sejujurnya gue gak nyangka Night Bus akan menjadi film terbaik dalam gelaran FFI tahun ini. Film yang tayang perdana pada bulan April inipun terlewatkan begitu saja oleh penulis, ntah apa yang terjadi saat itu  tapi sama sekali gue bahkan tidak menyadari adanya film tersebut. Benar saja, penayangan awal hanya mendaptkan 20ribu sehingga bisa dikatakan Night Bus merupakan film yang sepi peminat. Hal tersebut pula diakui oleh Darius Sinathrya sebagai produser, pihaknya melakukan kesalahan dalam distribusi film dan pemasaran.

"MEREKA HANYA INGIN PULANG, MEREKA INGIN SELAMAT"

   Bercerita tentang perjalanan “BABAD” sebuah bus malam menuju Sampar, daerah yang sedang begejolak konflik antara aparat pemerintahan dan barisan pemberontak lokal penuntut kemerdekaan wilayahnya. Penumpang Babad memiliki beragam maksud tersendiri untuk pergi ke Sampar, ada yang hendak mencari pekerjaan, bertemu keluarga, menyelesaikan masalah pribadi hingga mencari anaknya yang sudah lama tidak diketahui kabarnya. Babad yang disupiri oleh Amang (Yayu Unru) dan Bagudung (Teuku Rifnu Wikana) melakukan perjalanan seperti biasa yang mereka jalani, hingga sampai pos pengamanan pertama dan langit sudah gelap barulah perjalanan “menarik” dimulai.
Babad harus melewati jalan-jalan rawan perang dan bertemu pihak-pihak yang sedang berkonflik. Perjalanan tersebut menjadi sangat menakutkan bagi para penumpang, mereka harus turun naik bus atas perintah aparat pemerintah ataupun barisan pemberontak. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi pada mereka selanjutnya, apakah akan sampai tujuan dengan selamat atau tidak.


   Karakter Bagudung dan Amang memiliki peran sentral dalam film tersebut, keduanya bisa dikatakan menjadi “penghidup” utama dalam film tersebut walupun tidak semua cerita berasal dari mereka, teatapi dengan acting dari Teuku Rifnu film benar-benar menjadi seru dan menarik. Sebagai penonton kita juga tidak bisa mengesampingkan peran lainya seperti Anisa, Yudha, Luthfi, Nur, Mala, Rifat dan Umar yang diperankan Torro Margens. Banyaknya karakter yang muncul dalam film semakin membuktikan bahwasanya perang saudara tersebut sangat mengganggu dan menjadi ancaman bagi warga lainya tak terkecuali penumpang Babad yang dengan beragam tujuan ingin sampai ke Sampar dengan selamat.

   Visual dalam film ini mampu menunjukan suasana yang menarik pada malam hari, bus remang atau sebagian gambar yang agak gelap membuat penulis puas dengan pengalam menonton film untuk adegan mencekam. Tetapi dibalik itu semua ada sedikit cacat saya dapati, kemungkinan itu dikarenakan proses coloring yang terlalu memaksa atau ntah bagaimana sehingga ada sebuah kondisi muka Amang hitam, layaknya sebuah layar yang sobek atau bolong (andaikan bisa memotret, mungkin bakal gue capture bagian tersebut). Selanjutnya ada beberapa part menggunakan CGI, menurut gue agak maksa sih dan sempet kepikiran apakah mungkin tidak perlu menggunakan CGI agar gambarnya lebih halus, tentunya hal tersebut sudah menjadi pertimbangan tim produksi karena terkadang CGI bisa menekan budget dibanding harus membuat set yang sama persis sesuai isi kepala dari Director, Penulis, ataupun Produser.

   Audio dalam film Night Bus sebenarnya sudah cukup untuk bagian effect dan Scoring lainya sehingga suasana dapat dirasakan betul oleh penonton. Ada sedikit masalah yang mungkin bukan hanya penulis saja yang merasakan yaitu suara dialog antar karakter yang cenderung terlalu pelan ditambah subtitle tidak muncul dalam beberapa part membuat beberap dialog tidak tertangkap baik oleh penulis saat menonton, tapi hal tersebut tidak menjadi masalah major dibandingkan dengan visual yang menurut penulis masih bisa untuk lebih baik lagi.


   Pencapaian yang diraih oleh film ini mungkin tidak begitu menguntungkan dari segi pendapatan bahkan ada beberapa orang menganggap film ini merugi, tapi dengan penghargaan FFI yang telah diraih setidaknya itu membuktikan Night Bus tetap menjadi sebuah karya yang harus ditonton. Diputar kembali mulai 30 November (sebuah kesempatan penulis bisa menonton kembali) tidak berpengaruh banyak untuk mendobrak jumlah penonton, walaupun terdapat aktor-aktor beken seperti Lukman Sardi, Tyo Pakusadewo, Donny Alamsyah dan Alex Abbad ditambah Night Bus sudah memiliki gelar sebagai Film Tebaik FFI mengalahkan Cek Toko Sebelah (2jt lebih penonton) dan Pengabdi Setan (4jt lebih penonton). 

Review Film Forrest Gump (1994)

142 Min l Drama, Romance l 6 July 1994

Director : Robert Zemeckis
Writers  : Winston Groom (Novel), Eric Roth (Screenplay)
Stars     : Tom hanks, Robin Wright, Gary Sinise


"I'm Forrest, Forrest Gump"

   Film pertama yang gue coba review ini  bisa disebut sebagai mahakarya sempurna untuk audio visual. Sedikit lebay sih tapi memang begitu adanya. Forrest Gump merupakan paket sempurna yang secara langsung dapat memberikan motivasi khusus bagi penontonya. Dilihat dari posternya saya dapat memutuskan film ini akan menceritakan  tentang “seseorang”. Saat menyaksikan trailernya kesan film megah era 90an sangat terasa dan cukup menggoda untuk kita saksikan.


   Bercerita tentang hidup Forrest Gump (Tom Hanks) seorang dengan IQ dibawah rata-rata, menjadikan karakter sentral tersebut sebagai daya tarik untuk menarik simpati penonton. Gump merupakan seseorang yang polos tetapi mempunyai cita-cita dan semangat yang sangat tinggi. Tokoh utama tersebut mengalami banyak hal, menjalani beragam profesi, dan bertemu banyak tokoh penting serta banyak  kejadian  memorable yang tidak hanya dapat dikenang dan menjadi komedi oleh masyarakat Amerika Serikat saja. 

   Banyak kisah ditunjukan dalam film ini  sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dimulai dari seorang anak yang sulit menjalani hidupnya karena dia berbeda, cinta yang bertepuk sebelah tangan, menjadi bintang olah raga dikampusnya yang memilih mengabdikan diri sebagai tentara hingga akhirnya menjelma sebagai sosok pengusaha sukses. “Kita tidak pernah tau apa yang terjadi dalam hidup kita selanjutnya” benar-benar ditunjukan secara dramatis dalam film ini, dengan pengemasan rapih membuat saya yakin bahwa Forrest Gump merupakan film motivasi fiksi terbaik yang pernah saya tonton. 
   Karakter Forrest Gump berhasil diperankan sangat baik  oleh pemenang Oscar 1994 tersebut. Sulit membayangkan apabila karakter tersebut diperankan Bill Murray atau John Travolta yang dikabarkan menolak peran tersebut, bahkan pemeran Vincent Vega dalam Pulp Fiction (Travolta) disebut-sebut sempat menyesal telah menolak ambil bagian dalam film ini. Bukan hanya Forrest Gump yang membuat film ini sangat berkesan untuk saya, karakter lainya yakni Letnan Dan (Garry Sinise) dan Jenny Curran (Robin Wright) berhasil menghidupkan peran pendukung. Gary Sinise bahkan masuk nominasi Oscar untuk peran pendukung terbaik. 
   Visual yang ditampilkan memiliki banyak warna dan variasi latar setting beragam. Saya tidak akan ragu menyebut film ini sebagai karya yang sangat indah walaupun berlatar tempat nyata. Establish shot yang hadir dalam film semakin menunjukan bahwa Forrest berada ditempat-tempat realistis dengan suasana yang tidak asing bagi siapapun, hal tersebut membawa saya dalam perasaan kuat dari apa yang Forrest Gump sampaiakan.


   Audio dalam film inipun memperkuat bagaimana sebuah film motivasi dapat betul-betul menaikan semangat, memberikan kesan “mendorong” untuk bangkit dan membangun suasana sedih begitu dalam sebagai pendukung dari apa yang dialami karakter utama. Variasi suara yang hadir begitu mudah membawa saya dalam kisah hidup realistis. Ketenangan sangat terasa dibeberapa part berhasil membuat film ini begitu menghanyutkan.

   Pencapaian film dengan 6 Oscar termasuk diantaranya Best Picture, Best Actor (Tom Hanks), dan Best Director (Robert Zemeckis) membuktikan bahwa Forrest Gump menjadi sebuah karya sukses ditahun 1994. Pendapatan global yang mencapai 677,9 juta dollar US atau 12x dari anggaran produksi membuktikan bahwa Forrest Gump merupakan film yang laris dan layak ditonton oleh kita semua para Calon Sineasss.

Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017), Variasi Karakter yang Berpadu Begitu Harmonis

115 Min l Drama, Crime l 1 Desember 2017 (USA) Director : Martin McDonagh Writers  : Martin McDonagh Stars      : Frances McDorm...